Rabu, 27 April 2011

Optimisme hidup

0 comments
Bob Butler kehilangan kedua kakinya
pada tahun 1965 akibat ledakan
ranjau di Vietnam. Ia kembali ke
negerinya sebagai pahlawan perang.
Dua puluh tahun kemudian IA sekali
lagi membuktikan kepahlawanan yang murni berasal dari lubuk hatinya. Butler sedang bekerja di garasi
rumahnya di sebuah kota kecil di
Arizona pada suatu Hari dalam musim
panas ketika IA mendengar jeritan
seorang wanita dari salah satu rumah
tetangganya. Ia menggelindingkan kursi rodanya ke rumah ini, tetapi
semak-semak yang tinggi di rumah itu
tidak memungkinkan kursi rodanya
mencapai pintu belakang. Maka
veteran itu keluar dari kursinya Dan
merangkak tanpa peduli debu Dan semak yang harus dilewatinya. “Aku harus sampai ke sana, ” ucapnya dalam hati. “Tak peduli bagaimanapun sulitnya.” Ketika Butler tiba di rumah itu, IA tahu
bahwa jeritan itu datang dari arah
kolam. Di sana seorang anak
perempuan berusia kira-kira tiga
tahun sedang terbenam di dalamnya.
Anak itu lahir tanpa lengan, sehingga ketika IA jatuh ke dalam kolam IA
tidak dapat berenang. Sang ibu hanya
bisa berdiri mematung sambil
menangisi putri kecilnya. Butler
langsung menceburkan diri Dan
menyelam ke dalam dasar kolam lalu membawanya naik. Wajah anak
bernama Stephanie itu sudah
membiru, denyut nadinya tidak terasa
Dan IA tidak benapas. Butler segera berusaha melakukan
pernafasan buatan untuk
menghidupkannya kembali
sementara ibunya menghubungi
pemadam kebakaran melalui telepon.
Ia diberitahu bahwa petugas kesehatan kebetulan sedang bertugas
di tempat lain. Dengan putus ASA, IA
terisak-isak sambil memeluk pundak
Butler. Sementara terus melakukan
pernafasan buatan, Butler dengan
tenang meyakinkan sang ibu bahwa
Stephanie akan selamat. “Jangan cemas,” katanya. “Saya menjadi tangannya untuk keluar dari kolam
itu. Ia akan baik-baik saja. Sekarang
saya akan menjadi paru-parunya. Bila
bersama-sama Kita pasti bisa.” Beberapa saat kemudian anak kecil itu
mulai terbatuk-batuk, sadar kembali
Dan mulai menangis. Ketika mereka
saling berpelukan Dan bergembira
bersama-sama, sang ibu bertanya
kepada Butler tentang bagaimana IA yakin bahwa anaknya akan selamat. “Ketika kaki saya remuk terkena ledakan di Vietnam, saya sedang
sendirian di sebuah ladang,” ceritanya kepada perempuan itu. “Tidak Ada orang lain di sekitar situ yang bisa
menolong kecuali seorang gadis
Vietnam yang masih kecil. Sambil
berjuang menyeretnya ke desa, gadis
itu berbisik dalam bahasa Inggris
patah-patah, “Tidak apa-apa. Anda akan hidup. Saya akan menjadi kaki
Anda. Bersama-sama Kita pasti bisa. ” “Ini kesempatan bagi saya untuk membalas yang pernah saya terima,” katanya kepada ibu Stephanie. Kita semua adalah malaikat-malaikat
bersayap sebelah. Hanya bila saling
membantu Kita semua dapat terbang
( Luciano De Crescenzo. ) Dua orang yang baik, tapi, mengapa
perkimpoian tidak berakhir bahagia Ibu saya adalah seorang yang sangat
baik, sejak kecil, saya melihatnya
dengan begitu gigih menjaga
keutuhan keluarga. Ia selalu bangun
dini hari, memasak bubur yang panas
untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan
bubur. Setelah itu, masih harus memasak
sepanci nasi untuk anak-anak, karena
anak-anak sedang dalam masa
pertumbuhan, perlu makan nasi,
dengan begitu baru tidak akan lapar
seharian di sekolah. Setiap sore, ibu selalu
membungkukkan nbadan menyikat
panci, setiap panci di rumah kami bisa
dijadikan cermin, tidak ada noda
sedikikt pun. Menjelang malam, dengan giat ibu
membersihkan lantai, mengepel seinci
demi seinci, lantai di rumah tampak
lebih bersih dibanding sisi tempat
tidur orang lain, tiada debu sedikit
pun meski berjalan dengan kaki telanjang. Ibu saya adalah seorang w anita yang
sangat rajin. Namun, di mata ayahku, ia (ibu)
bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhan saya,
tidak hanya sekali saja ayah selalu
menyatakan kesepiannya dalam
perkimpoian, tidak memahaminya. Ayah saya adalah seorang laki-laki
yang bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-
minuman keras, serius dalam
pekerjaan, setiap hari berangkat kerja
tepat waktu, bahkan saat libur juga
masih mengatur jadwal sekolah anak-
anak, mengatur waktu istrirahat anak- anak, ia adalah seorang ayah yang
penuh tanggung jawab, mendorong
anak-anak untuk berpretasi dalam
pelajaran. Ia suka main catur, suka larut dalam
dunia buku-buku kuno.
Ayah saya adalah seoang laki-laki
yang baik, di mata anak-anak, ia maha
besar seperti langit, menjaga kami,
melindungi kami dan mendidik kami. Hanya saja, di mata ibuku, ia juga
bukan seorang pasangan yang baik,
dalam proses pertumbuhan saya,
kerap kali saya melihat ibu menangis
terisak secara diam diam di sudut
halaman. Ayah menyatakannya dengan kata-
kata, sedang ibu dengan aksi,
menyatakan kepedihan yang dijalani
dalam perkimpoian.
Dalam proses pertumbuhan, aku
melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkimpoian
ayah dan ibu, sekaligus merasakan
betapa baiknya mereka, dan mereka
layak mendapatkan sebuah
perkimpoian yang baik.
Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan
perkimpoian mereka lalui dalam
kegagalan, sedangkan aku, juga
tumbuh dalam kebingungan, dan aku
bertanya pada diriku sendiri : Dua
orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkimpoian yang
bahagia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar