Rabu, 08 Februari 2012

Negara di Bawah Bayang-bayang Ranjang

0 comments
Sebenarnya saya cukup ragu menggunakan judul di atas. Mungkin akan lebih menarik jika berjudul “Negara Seluas Ranjang”. Tapi judul demikian akan terbaca terlalu satire dan tampak seperti mengarah pada satu ranjang saja. Bisa jadi pembaca menginterpretasikan sebagai ranjang Presiden saja. Ingatan pembaca seolah dikembalikan pada rumor pernikahan Pak Beye sebelum masuk Akabri. Padahal ingatan publik akan pernikahan Edhie Baskoro Yudhoyono dan Siti Aliya Radjasa belum lama ini, masih cukup hangat. Sebagian pengamat menyebut pernikahan tersebut sebagai pernikahan politik yang tentu saja dibantah Presiden (Republika, 22 November 2011). Bantahan Pak Beye pantas dimaklumi mengingat kesulitan awam membayangkan apa yang disebut pernikahan politik sebab sebenarnya memang tidak mudah mengawinkan ideologi.

Awalnya adalah Michael Foucault yang memberi istilah “tubuh adalah politik karena seks” pada wacana seks dan kekuasaan. Sebagaimana ditulis Haryatmoko (2010), Foucault memaparkan bahwa kekuasaan yang berfungsi mengatur kehidupan, memiliki tanggung jawab atas kehidupan sehingga memberi akses pada kekuasaan untuk masuk sampai pada tubuh. Dalam konteks demikian, tubuh bukan menjadi sesuatu yang penting jika tidak terdapat unsur seks. Kekuasaan menggunakan seks untuk mempolitisasi tubuh demi kekuasaan itu sendiri. Tanpa seks, tubuh bukanlah politik sebab yang demikian tidak menunjukkan tanggung jawab kekuasaan atas keberlangsungan kehidupan. (Catatan penulis tubuh di sini bisa saja tubuh lelaki atau tubuh perempuan). Penjelasan Foucault atas fenomena tersebut menarik untuk diperbincangkan terkait fenomena keindonesiaan akhir-akhir ini terutama bahwa pernikahan Ibas dan Aliya mendapatkan konteksnya. Tanpa ketertarikan seksual antara Ibas kepada Aliya atau sebaliknya, maka dapat dikatakan pernikahan Ibas dan Aliya memperoleh justifikasi sebagai pengawinan politik untuk kekuasaan semata.
Seharusnya, awal tulisan ini saya cantumi definisi seks terlebih dahulu. Mungkin saya cantumkan definisi menurut kamus besar bahasa Indonesia yang memberi definisi seks sebagai alat kelamin atau sebagai suatu hal yang berhubungan dengan kelamin atau sebagai birahi. Tetapi definisi-definisi tersebut masih belum cukup jelas menjelaskan “tubuh adalah politik karena seks”. Beberapa artikel terkait dengan seksual seperti pelecehan seksual, kuasa seks, paradok seks dan di beberapa artikel lain belum saya temukan penjelasan yang memuaskan mengenai seks. Dengan demikian saya tidak mencantumkan definisi seks sebab saya beranggapan definisi utuh serta berterima umum mengenai seks belum saya temukan.
Dengan ketidakpahaman secara utuh tentang seks, bagaimana saya harus menjelaskan keberadaan “tubuh adalah politik karena seks” pada fenomena menarik seperti pertarungan pilkada Bupati Kediri antara istri tua, Haryanti, dengan istri muda, Nurlaela, pada tahun 2010 lalu. Sebelumnya, kita ingat Rano Karno dan Dede Yusuf berhasil memenangkan pilkada. Jujur, andai mereka tidak ganteng dan seksi di mata pemilihnya, saya tidak begitu yakin mereka akan memenangkan pilkada sebab saya belum pernah membaca tulisan pemikiran Rano Karno maupun Dede Yusuf. Saya juga belum pernah membaca tulisan pemikiran Julia Peres, Inul Daratista dan Ayu Azhari yang mencoba peruntungan menjadi pejabat daerah. Absennya pemikiran dari para artis seksual tersebut seperti menjelaskan kepada publik bahwa mereka sedang mempolitisasi tubuh untuk mendapat kekuasaan. (Atau malah sebaliknya, seks menunjukkan kekuasaannya dengan menaklukkan kalkulasi-kalkulasi politik?)
Bagi kaum pembela hak-hak politik perempuan fenomena tersebut mungkin dianggap sebagai salah satu kemajuan emansipasi serta kesetaraan gender dalam hukum, politik dan kekuasaan kepemerintahan. Persoalannya, seksi pada dasarnya bukan monopoli kaum perempuan. Bisa jadi kemenangan Rano Karno, Dede Yusuf dan Dicky Chandra pun adalah karena keseksian mereka. Mengapa yang dikaitkan dengan keseksian mesti harus perempuan?
Bagi politisi tulen, tanpa daya tarik seksual mereka, tubuh-tubuh tersebut tidak menghasilkan keuntungan apapun. Tubuh-tubuh yang berpolitik tanpa comparative advantage. Adanya daya tarik seksual membuat mereka mampu melakukan penaklukan terhadap pakem politik yang lazim meski tentu saja tidak dapat dihindari perebutan kekuasaan antara politik dan seks itu sendiri. Untuk mengukur seberapa kuat daya tarik seks para calon bupati dan wakil bupati tersebut, mungkin dapat dilakukan dengan mengukur seberapa kuat competitive advantage antar mereka. Pada titik ini, apa yang disampaikan Foucault bahwa kapitalisme membutuhkan tubuh yang dapat dikontrol untuk produksi, kembali menemukan konteksnya.
Tetapi tulisan ini akan melenceng terlalu jauh dari pokok permasalahan semula tentang negara yang di bawah bayang-bayang ranjang jika memasuki kajian mana yang lebih kuat antara seks dan politik pada kekuasaan, terlepas dari rerangka kekuasaan kapitalisme yang mungkin tidak terlalu peduli mana yang lebih kuat, sepanjang tetap menghasilkan keuntungan maksimal bagi pemilik modal, itu bukan masalah urgen. Dengan kata lain, siapa yang mampu mengontrol tubuh, ia akan memperoleh keuntungan maksimal. Dan seksualitas berkali-kali tampaknya merupakan alat paling efektif dan efisien untuk melakukan kontrol tubuh. Pembicaraan di ranjang bisa jadi bermuara pada munculnya berbagai kebijakan di ranah publik. Pembicaraan para politisi dengan istrinya. Atau pembicaraan istri pertama dengan istri kedua. Atau pembicaraan para politisi dengan istri simpanannya. Atau pembicaraan entah dengan siapa yang kebetulan tidur satu ranjang. Dan di ranjang-ranjang yang tersembunyi, publik tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dibicarakan yang kemudian juga bisa jadi kebijakan yang sulit terpahami publik. Ketika kisah ranjang tersebut terkuak, kriminalisasi terhadap perempuan biasanya yang lebih dulu dilakukan.
Ambil contoh misalnya kasus Bill Clinton dan Lewinsky. Publik Amerika yang diperkenalkan sebagai negara dengan seks bebas dan bertanggung jawab, tetap lebih memilih agar Clinton mengakui perbuatan yang tidak patut. Mereka “hanya” menginginkan presidennya tidak berbohong. Tetapi, sejauh pengetahuan penulis, publik Amerika tidak menanyakan adakah kebijakan publik yang dipengaruhi kedekatan Clinton dengan Lewinsky.
Kita lihat kemudian kasus yang terjadi di Indonesia. Kasus Yahya Zaini, kasus bupati Pekalongan Qomariyah-Wahyudi, termasuk fenomena-fenomena politik yang telah disebutkan sebelumnya seperti pemilihan bupati Kediri, pencalonan Julia Perez, Inul dan Ayu Azhari. Publik lebih menyukai pewacanaan seks yang ada pada kasus-kasus tersebut tetapi abai pada substansi siapa sebenarnya pengambil keputusan yang nantinya akan berdampak luas. Pewacanaan seks ini lebih sering berujung pada kriminalisasi perempuan daripada, minimal menuntut politisi untuk tidak berbohong mengakui perbuatannya. Mengakui bahwa mereka takluk pada seks. Yang cukup mengkhawatirkan adalah apabila ternyata kriminalisasi perempuan merupakan bentuk balas dendam dari setiap kekalahan kekuasaan lelaki atas ranjang. Sayangnya, belum ada penelitian empiris tentang berbagai pertanyaan tersebut.
Dari uraian-uraian sebelumnya, saya ingin menyimpulkan bahwa terdapat kemungkinan bahwa kekuasaan dalam konteks kepemerintahan sebuah negara bisa jadi bukan tersebab oleh politik melainkan oleh dominasi seks. Dominasi tersebut tidak saja pada tataran konkrit yang kasat mata tetapi juga pada tataran abstrak imajinasi para pelaku atau obyek-obyek seks yang menjadi sasaran kekuasaan. Bayangkan perebutan kekuasaan atas kontrol tubuh itu terjadi di ranjang-ranjang para politisi kita. Bayangkan daya tarik seks Julia Peres, Inul dan Ayu Azhari menguasai imajinasi para pemilih yang kemudian dibawa keranjang kapan pun mereka mau. Emansipasi perempuan pada ranah politik mungkin saja melangkah maju, tetapi istri-istri atau perempuan-perempuan yang hak-hak seksualnya tidak terpenuhi adalah kemunduran di sisi lain.
Pada konteks pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, pada akhirnya, baik buruknya sebuah negara, maju tidaknya sebuah negara, akan bergantung pada siapa yang menguasai ranjang. Dan celakanya, entah lelaki atau perempuan yang menguasai ranjang, pemenangnya adalah tetap kapitalisme. Mungkin kaum perempuan harus berpikir ulang perjuangan untuk kaum mereka yang sesungguhnya. Atau setidaknya, kita harus berpikir ulang tentang relevansi daya tarik seksual untuk memperoleh kekuasaan di satu sisi, dan berpikir tentang relasi seks dan kekuasaan dengan kapitalisme di sisi lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar