Jumat, 24 September 2010

Saat Sportivitas Dibelit Jalan Pintas. .

0 comments
Kehidupan pelajar adalah sebuah kompetisi. Setiap dari mereka harus terus berlomba2 untuk menggapai prestasi terbaik. Bahkan, di saat mereka jujur dan melangkah menuju jenjang yang lebih tinggi. Tetapi, sejauh manakah nilai2 sportivitas mereka pahami dan jalani? Benarkah apa yang mereka selami benar2 telah bermuatan nilai2 yang mengedepankan kejujuran-keadilan itu?
Beberapa waktu lalu, sebentuk sindiran ditampilkan iklan di televisi, yg menggambarkan adegan jaga dua petinju di atas ring. Celakanya, yg dimenangkan oleh pengadil ring justru petinju yang curang. Seperti itukah gambaran kehidupan kita, dlm menyikapi nilai sportivitas.
Memang sulit menafsirkan sekaligus memaknai sportivitas. Meski orang bisa tegas mengartikan sortiuitas merupakan manifestasi dari nilai fair play, toh yg terjadi malah makin merebaknya pelaku kalo pintas. Orang2 memilih jalan menerobos untuk mencapai tujuan atau mendapatkan keinginannya.
Maka, seperti cinta, pengertian sportivitas bisa berbeda bagi tiap individu. Padahal pengertian sportivitas bisa sangat luas.
Menurut Budi Santoso Spd, guru mata pelajaran Sejarah SMA Teuku Umar Semarang, sportivitas adalah mau menerima dan menghargai yang telah dicapai, termasuk kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Lantas apakah nilai2 sportivitas akan menguap begitu raja di tengah zaman yg diliputi kepalsuan layak sekarang ini?
Menerima kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri memang bukan pekerjaan mudah. Nggak heran bila banyak di antara kita yg memilih bermain curang dengan tujuan agar nggak terkalahkan oleh lawan. Sebuah tindakan yg cenderung mengedepankan kemunafikan ketimbang menghargai proses dan hasil secara alamiah.
Perilaku macam itu jelas sama dengan menipu diri sendiri dan orang lain. Tapi kalau nilai sportivitas sampai hilang di mata masyarakat, rasa2nya itu nggak mungkin. Betapapun sportivitas memang dibutuhkan, karena bakal mempengaruhi hasil yg dicapai, yaitu menjadi lebih bagus dan percaya diri.
Sportivitas nggak hanya bermuara di lingkup olahraga. Bahkan olahraga itu pendiri pun nggak sebatas urusan fisik. Artinya, persoalan sportivitas juga bisa memanas di lingkup intelektualitas seseorang. Semisal, di lingkungan sekolah atau pelajar yang lekat dengan urusan perolehan prestasi. Prestasi dan segala macam kebanggaan itu, ternyata nggak terlalu berbuah manis. Terbukti, sambutan maupun tanggapan terhadap keberadaan Olimpiade Sains -yg notabene merupakan bentuk kompetisi olah pikir- memang belum segempar olimpiade di bidang olahraga.
Kegiatan olimpiade sains belei dibilang masih dilibati oleh peserta yg bersifat eksklusif. Sementara kalau olahraga cenderung bisa dilakukan oleh hampi semua orang. Jadi, boleh dikatakan peserta olimpiade sains memang langka.
Intinya, pemerintah juga mestinya ngasih perhatian pada kegiatan semacam ini, jangan cuma olahraga saja.
Padahal banyak nilai2 sportivitas yg bisa membuat dari jagad intelektualitas, khususnya olimpiade sains ini. Kegiatan olimpiade sains bisa membawa pesertanya lebih mudah mendapatkan pekerjaan, karena dipandang memiliki nilai plus.
Perlu adanya keseimbangan perhatian dari pemerintah untuk kegiatan sains dan olahraga. Sehingga hak dan kewajiban kita setara. Karena nilai2 sportivitas sama2 ada di kedua bidang, yakni olahraga dan sains.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar