Rabu, 31 Oktober 2012

Daun Telinga dan Pigura Tanpa Foto

1 comments
Cerpen Maria Immaculata Ita

tanpa wajah

“Hei, telingamu ?” Usianya sekitar empat belas atau lima belas tahunan, sebaya dengan teman-teman sekelasnya. Berkulit putih keju, hidung mancung. Tinggi badan melebihi rata-rata. Menyandang tas warna hitam keluaran distro abal-abal, bernoda tipe ex di bagian depan, dekat resleting utama. Ekor bajunya hampir tak pernah tersembunyi di balik celana pendek. Terjulur begitu saja, tanpa takut ketahuan. Tampan, tapi tak terawat. Keturunan Arab, namanya Malkus.
Malkus, abinya seorang pembantu di rumah walikota. Tapi Malkus bukan satu-satunya keturunan Arab di daerah itu. Beberapa pembantu di rumah walikota rata-rata warga keturunan Arab juga. Entah mengapa.
“Mengapa ibu mendekati saya ?”
Usia Cen Vei Yin sekitar dua puluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dari Malkus. Sesuai dengan namanya, Vei Yin keturunan Cina. Kulit kuning langsat, mata sipit. Hidung agak mancung, membuatnya terlihat aneh untuk gadis keturunan Cina seperti dirinya. Tinggi badan Vei Yin seratus enam puluh centimeter. Menyandang handbag coklat Elizabeth. Ekor baju hitamnya terlihat menutupi lingkar pinggang. Selalu warna hitam. Lengan panjang. Dengan paduan rok impor Taiwan berploi. Cantik, tapi rambut lurusnya tak pernah rapi.
Cen Vei Yin, mamanya seorang penjual mimpi di deretan ruko di jantung kota. Hanya saja, Vei Yin satu-satunya keturunan Cina di daerah itu.

“Telingamu, aku tak melihat telingamu mencuat di sisi kepala ?”
Malkus tak pernah mengerjakan pe-er Fisika. Tapi ia belum pernah terlambat atau belum pernah tak berangkat sekolah. Setidaknya begitu di mata Vei Yin. Sepertinya ia tak pernah sakit, tak perlu izin tidak masuk hanya untuk urusan keluarga atau pura-pura lupa jalan menuju sekolah.
“Bantu saya mencari daun telinga, bu …”
Dua tahun belakangan ini, Cen Vei Yin mengajar Fisika di sekolah tempat Malkus belajar. Setiap hari dia melihat mata, telinga, hidung dan mulut beraneka rupa. Tapi Malkus tak bertelinga hari ini. Mata Vei Yin meneliti lembaran-lembaran rambut yang tumbuh di kepala Malkus. Tak ada. Lalu diintipnya kantong saku yang terjahit di baju seragam Malkus. Juga tak ada. Daun telinga Malkus tak ada.
“Aku bertemu laki-laki itu semalam, bu …”
Vei Yin membungkukkan badannya. Barangkali terselip di kerah belakang Malkus, batin Vei Yin. Tak ada juga.
“Apa kau sudah bertemu laki-laki itu, Malkus?”
Siang terlewati dengan rapi. Jarum jam terdorong ke bawah menuju angka tiga.
Malkus tak juga beranjak dari tempat duduknya. Tetap sama, di bawah pohon Matoa. Sementara sekolah sudah begitu sepi. Kepala sekolah yang biasanya menutup pintu paling akhir pun tak kelihatan lagi. Pintu ruangan sudah terkunci.
“Laki-laki itu menghunuskan pedangnya … lalu mendekati saya dengan muka merah.”
Vei Yin menarik ekor mata sipitnya. Melipat tangan di atas dada yang hampir rata. Menarik nafas, seperti putus asa karena tak menemukan daun telinga anak muridnya.
“Pasti laki-laki itu …”
Malkus menggeser bokongnya, seperti menyilakan Vei Yin untuk duduk di sampingnya. Bersama-sama, di bawah pohon Matoa.
“Laki-laki itu mengayunkan pedangnya, dalam sekejap daun telinga saya tak ada di tempatnya semula. Di depan abi saya, bu … tapi abi diam saja.”
Akhirnya Vei Yin duduk. Tapi bukan di samping Malkus. Dia memilih mengambil posisi di depannya, sambil melirik air muka Malkus yang tak berubah. Cen Vei Yin, guru Fisika, dan Malkus, anak muridnya.
“Aku tahu laki-laki itu pasti menghunuskan pedangnya …”
Malkus menghembuskan nafas pelan-pelan.
“Perih … rasanya semua darah dalam tubuh saya mengalir keluar dari luka itu. Rasanya bayangan umi saya tiba-tiba hadir dan protes keras pada laki-laki itu. Tapi abi tetap diam saja … dan bayangan umi menggantung begitu saja di atas lantai tanpa bisa berbuat apa-apa, karena daun telinga saya terlanjur lepas.”
Vei Yin membuka tas, mengeluarkan sebungkus tisu dan menarik satu lipatan. Diberikan tisu itu pada Malkus. Lalu menarik satu lipatan lagi untuk dirinya sendiri. Vei Yin menepuk-nepuk telinga kanannya yang mendadak ngilu, dengan tisu.
“Pasti laki-laki itu buru-buru melarikan diri setelah mengayunkan pedangnya padamu …”
Malkus menopang dagunya dengan kepalan tangan kanan. Menggosok hidung hingga agak kemerahan dengan telunjuk kiri. Dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal beberapa kali.
“Dia tak segera pergi. Malah memandangi bayangan umi saya tanpa berkedip. Saya kira mereka kawan lama dari cara dia memandang umi. Dan pasti tak mengenal abi saya dari cara dia mengayunkan pedang”
Malkus membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah pigura kosong tanpa foto. Menimang benda itu sejenak, lalu mengangsurkannya pada Vei Yin. Vei Yin menerimanya, dengan tangan kiri karena tangan kanannya masih menempel pada daun telinga. Pigura kosong tanpa foto. Vei Yin juga punya. Dengan pinggiran bermotif kupu-kupu dan floral. Hanya saja pigura tanpa foto itu digantungkannya di dinding kamar, di atas ranjang, di sebelah gantungan abu jenazah. Pigura yang ia terima dari mamanya setelah papanya meninggal sepuluh tahun lalu.
“Kata abi, umi saya menitipkan benda ini untuk saya, bu … dan saya tak boleh mengisinya dengan foto siapa pun, termasuk foto saya, selama saya masih bertelinga. Tapi sekarang saya sudah tak bertelinga. Telinga saya terlepas entah di mana. Saya menunggu laki-laki itu datang lagi tapi tak datang juga. Saya ingin dia mengembalikan telinga saya. Dan abi harus melihat saya pulang lengkap dengan telinga.”
Mama Vei Yin seorang penjual mimpi. Ketika papanya meninggal, mamanya memberikan pigura tanpa foto untuk Vei Yin. Pigura tanpa foto, tanda kasih keramat papanya untuk mama Vei Yin. Sejak saat itu mamanya menjadi pembual yang sehari-hari mendekam di depan ruko-ruko pribumi, menjual kata-kata, menjual mimpi. Papa Vei Yin sudah meninggal. Umi Malkus tinggal bayang-bayang.
“Laki-laki itu tak akan pernah kembali untuk yang kedua kali. Mungkin dia sudah menemukan umimu dalam daun telingamu, karena daun telinga itu miliknya yang pernah dipinjam umimu. Dan abimu pasti akan tetap diam saja. Pigura ini, simpanlah. Gantungkan di sebelah bayangan umimu.”
Malkus meraba sisi kepala. Daun telinganya memang tak ada. Lalu Vei Yin menyerahkan pigura tanpa foto itu pada Malkus.
“Saya tak ingin pulang, tanpa telinga.”
Malkus enggan menggerakkan badannya untuk tegak. Dia tetap duduk sambil mendekap pigura tanpa foto di dadanya, di depan Vei Yin, di bawah pohon Matoa.
“Saya harus pulang. Sudah ditunggu oleh pigura tanpa foto juga di kamar. Sementara saya tak mungkin meninggalkanmu sendirian, dan tak mungkin meminjamkan daun telinga. Hari sudah sore.”
Vei Yin bimbang dihadapkan pilihan, antara harus pulang dan masih ingin bersama Malkus. Tapi pigura tanpa foto di kamarnya sudah menunggu.
“Saya tak mungkin pulang tanpa telinga, bu … bagaimana saya bisa mendengar suara abi saya ? Saya akan menunggu laki-laki itu kembali.”
Malkus semakin enggan menggerakkan badan. Dia tak ingin pulang tanpa daun telinga.
“Kau tetap harus pulang, Malkus … hari semakin senja … Tentu abimu akan lebih suka kau pulang tepat waktu. Tak usah lagi kau pedulikan telingamu. Toh, kau tetap bisa mendengar suaraku dengan matamu. Pulang, gantungkan pigura itu di sebelah bayangan umimu.”
Malkus menatap Vei Yin seperti berusaha menemukan foto siapa yang akan ia pasang untuk piguranya.
“Pohon Matoa … pohon Matoa … bu Vei Yin seperti memintaku pulang tanpa telinga, membawa kembali pigura tanpa foto dan menggantungkannya di sebelah bayang-bayang umiku. Tolong jelaskan padaku mengapa ?”
Vei Yin menatap Malkus seperti berusaha menjelaskan foto siapa yang harus ia pasang untuk piguranya.
“Pohon Matoa … pohon Matoa … jelaskan pada Malkus tentang laki-laki dan pedangnya, tentang daun telinga dan pigura tanpa fotonya, tentang bayang-bayang uminya dan abinya, tentang aku dan almarhum papaku, tentang mamaku dan jualan mimpinya.”
Cen Vei Yin beranjak dari tempat duduknya. Pergi. Menyisakan Malkus, di bawah pohon Matoa yang tak bergeming.
“Bu Vei Yin, kalau boleh saya ingin memasang foto ibu pada pigura ini.”
Malkus meraba sisi kepalanya.
“… dan telinga ini untuk ibu. Laki-laki itu, pasti bu Vei Yin mengenalnya. Saya akan katakan pada bayang-bayang umi saya, bahwa saya telah menemukan isi foto pigura ini. Dan saya yakin abi akan tetap diam saja.”
Malkus meraba sisi kepalanya sekali lagi. Daun telinga itu memang tak mungkin kembali. Terlanjur lepas. Tapi dia yakin daun telinga itu dibawa ke tempat yang semestinya. Mungkin akan menjadi isi pigura tanpa foto juga, di sebelah abu jenazah.
“Esok kita bertemu lagi, Malkus … tapi ku harap kau tak lagi duduk di bawah pohon Matoa itu.”
Malkus mengiringi langkah Vei Yin yang menjauh dengan matanya.
“Titip salam untuk daun telinga saya, bu Vei Yin … juga untuk abu jenazah di sebelah pigura tanpa foto milik ibu. Sebentar lagi saya akan pulang.”
Vei Yin melambaikan tangan pada Malkus sebelum akhirnya hilang di balik pintu gerbang. Tersenyum, sesuatu yang tak dia lakukan dari pertama melihat Malkus di bawah pohon Matoa. Senyuman pertama untuk Malkus.
“Baik-baiklah, Malkus … sampaikan salam saya untuk bayang-bayang umimu. Saya pulang pada mamaku, kau pulang pada abimu. Tetap harus begitu.”
Malkus menganggukan kepala, anggukan pertama untuk Cen Vei Yin.

1 komentar:

  1. wah, ini knapa cerpen saya bisa nampang di sini? contact me at --> maria_ita610@yahoo.co.id

    BalasHapus