Rabu, 06 Maret 2013

Pencuri Mimpi

0 comments
“Sial! Mentari tak lama lagi terbit, masih dua orang lagi yang harus kuhabisi malam ini,” gumam bayangan hitam,”aku harus bergegas!”
Bayangan itu berkelebat cepat ke barat. Seekor burung hantu terbang di atas kepalanya. Rambutnya panjang berkibar terurai angin. Gerimis dan pekat malam tidak menyurutkan langkahnya untuk berlari dan terus berlari dengan kaki terpincang-pincang.
“Bangsat Si Jogoragan!” umpatnya sambil sesekali meludah ke kanan dan ke kiri. “Ilmunya benar-benar tidak boleh diremehkan. Untung saja kau membantuku Rohpati,” sambungnya sembari menatap burung hantu di atas kepalanya. Burung itu hanya mencicit lirih. Mereka terus melesat ke barat.
“Sekarang giliran Nyi Darsini dan Joko Gembong yang harus kita habisi,” bisiknya. “Dua orang itu sudah terlalu lama masyuk dengan mimpi-mimpinya.”
Di pekat malam, terlihat setitik cahaya di ujung barat desa. Cahaya lampu minyak yang menyeruak dari bilik kayu. Bayangan hitam itu sedang menuju ke sana, rumah Darsini. Tak berapa lama, ia sudah mengendap-endap di bawah jendela kamar Darsini.
“Ada suara burung hantu Kang…” bisik sebuah suara dari bilik itu. Suara desah Darsini. “Aku takut Kang..”
“Tidak perlu takut Nyi. Aku menemanimu,” jawab suara satunya. Berat sedikit parau, khas suara laki-laki setengah baya. Ia itu Joko Gembong.
“Firasatku tidak enak Kang. Aku takut Bapak bangun. Kalau ketahuan kita bisa celaka,” rintih Nyi Darsini.
“Kalau ketahuan, aku akan menikahimu,” jawab Joko Gembong mantab.
“Kalau memang mau menikahiku, kenapa harus nunggu ketahuan Kang? Kenapa tidak kaulamar aku secara baik-baik?” cecar Nyi Darsini.
“Orang tuamu dan penduduk di sini masih menganggapku kafir. Dan aku tidak mau masuk agamamu,” jawab Joko,” kalau kamu mau pergi dari sini, aku segera menikahimu.”
“Pilihanmu sulit semua Kang. Aku tidak sanggup,” keluh Darsini,”biarlah kita serahkan semua pada Sang Khalik.” Tak terasa air mata Darsini meleleh. Ketika rindu membiru menyatu dengan syahdu, hati manusia meronta ingin terbebas dari nestapa. Tak lama kemudian mereka berdua pun tenggelam masyuk dalam lautan asmara.
Bayangan hitam yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan dua orang yang mabuk cinta itu tersenyum sinis. Akulah jawaban atas doa kalian, batinnya. Aku tunggu sampai kalian kelelahan dan terlelap. Bayangan hitam itu kemudian mengambil sikap samadi. Asap putih mengepul dari ubun-ubunnya dan perlahan membentuk sesosok makhluk yang persis dirinya. Tanpa suara, mahkluk itu melayang menembus dinding bilik kamar Darsini dan Joko Gembong. Dua manusia yang baru saja diamuk badai asmara itu tidur terlentang tanpa sehelai benang. Mereka pulas mendengkur dengan senyum mengembang di bibir. Dalam tidurnya mereka bertemu dengan mahkluk putih yang melayang-layang tanpa dapat dikenali wajahnya karena tertutup rambut panjang riap-riapan.

“Hei, mau di bawa kemana kang Joko,” jerit Darsini. Darsini melihat mahkluk putih itu mengempit tubuh Joko yang meronta-ronta tanpa daya.
“Akulah jawaban atas doamu,” kata mahkluk putih sambil melayang keluar.
Hampir berbarengan dengan jerit Darsini, suara Joko menggelegar.
“Hei, siapa kau? Mau kau apakan Darsini-ku,” lengking Joko. Joko melihat mahkluk putih itu terbang sambil menggendong Darsini. Joko berusaha mengejar namun tubuhnya seperti lunglai tanpa daya.
“Kalian tidak berhak atas mimpi-mimpi itu,” kata mahkluk putih,”mimpi kalian membahayakan orang lain. Besok pagi kalian akan menyadari kebodohan kalian.” Mahkluk putih melayang keluar bilik dan kembali masuk ke raga bayangan hitam. Tubuh halus Darsini dan Joko Gembong diberikannya pada Rohpati. Burung hantu itu segera menghisap habis kedua tubuh halus manusia malang itu.
“Tugas kita hari ini selesai,” kata bayangan itu. Sekejap kemudian mereka sudah hilang di pekat malam.
Pagi harinya, penduduk kampung Jogoragan geger. Nyi Darsini dan Joko Gembong terkapar tumpang tindih mandi darah dengan urat nadi putus. Amis mengering memenuhi ruangan. Satu lembar kertas tergeletak di samping tubuh mereka. Di kertas itu tertulis:
mimpi itu terasa sangat mustahil untuk dapat kami wujudkan. Maafkan kami, Mbok. Maafkan kekhilafan kami Pak. Jika kami tidak dapat hidup bersama di dunia ini, biarlah kami hidup bersama di akhirat.
Darsini & Joko Gembong.
***
Sore itu tidak seperti biasanya. Tidak ada rinai gerimis, dan senja belum lagi datang, tetapi wajah penduduk tampak muram. Mulanya cuma satu dua orang. Tetapi dari hari ke hari semakin banyak yang menekuk wajah. Para lelaki berkeluh kesah. Bahkan tidak terlihat lagi gadis-gadis desa tersenyum sumringah. Semua terlihat lelah. Sangat lelah. Mereka tidak lagi menikmati senja. Senja berarti gerbang kematian bagi mereka. Candik ala di batas cakrawala bagai mulut Kala menganga mencari mangsa. Petanda petaka. Hari-hari semakin kusut. Dan malam menjadi begitu kelam. Menyelimuti segenap rasa, hati dan pikiran mereka. Tak ada yang berani memecah sunyi. Tak ada yang berani mengakhiri sepi. Jiwa-jiwa mereka merintih di kegelapan, mengharap pertolongan. Mata nyalang terpicing sepanjang hitam. Mereka takut tertidur. Mereka takut bermimpi. Di ujung desa, sang pencuri mimpi tertawa, hadapilah kenyataan hidup. Jangan hanya bermimpi, gumamnya.
“Kita harus mengakhiri semua ini,” kata Ki Lurah Jogoragan di tengah pertemuan para pinisepuh desa.
Ia mulai khawatir melihat perubahan warganya. Maka ia memutuskan untuk mengumpulkan para sesepuh pada malam sabtu pahingan untuk membahas masalah itu. Ada Mbah Modin, Pak Carik, dan Ki Bayan. Ada Nyi Sari dukun bayi. Ada juga bu Bidan Tantri, satu-satunya perempuan jelita dengan baju hitam legam membungkus tubuhnya yang putih pucat.
“Menurutku, ini ulah Nyi Sumbi, Ki Lurah,” kata Ki Bayan pelan.
Asap tembakau bau kemenyan mengepul pekat dari mulut Ki Bayan. Ada rasa takut menyelinap ketika Ki Bayan menyebut nama Nyi Sumbi. Nyi Sumbi adalah perempuan renta yang tinggal di ujung barat desa, persis di belakang pemakaman umum yang membentang sepanjang kali. Ia dikabarkan memiliki ilmu tenung. Konon, tinggalnya di pemakaman sebagai syarat menyempurnakan ilmunya.
“Jangan terburu-buru menuduh Ki,” ucap Nyi Sari,”kita belum punya bukti.”
“Kita tidak perlu bukti Nyi. Sudah jelas penduduk terkena pengaruh tenung,” bantah Ki Bayan sedikit gusar. “Mereka terlihat selalu bermuram durja. Aku yakin, Nyi Sumbi sedang mempraktikkan ilmu pengambil roh untuk memangsa korbannya,” Ki Bayan menambahkan.
“Tunggu dulu Ki Bayan,” Mbah Modin memotong. “Ilmu pengambil roh, setahuku menyebabkan si korban lupa siapa dirinya. Kenyataannya, para penduduk itu tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Hanya saja, wajahnya selalu muram.”
“Hmm..benar juga,” gumam Pak Carik.
“Maaf, saya harus meninggalkan pertemuan ini,” sela Bidan Tantri dengan suara merdu. ”Ada bayi yang saya perkirakan akan lahir malam ini,” tambahnya.
“Oh, monggo-monggo. Silahkan Bu,” jawab Ki Lurah mantab.
Bidan Tantri beranjak pergi dengan meninggalkan aroma pekat kamboja. Malam semakin mencekam. Dari surau sayup terdengar lantunan ayat suci. Tak lama kemudian disusul rintih burung hantu dari samping rumah.
“Aku kok malah curiga dengan bidan cantik itu Kangmas,” kata Pak Carik kepada Ki Lurah Jogoragan.
“Hmm..memang sejak kedatangannya desa kita jadi kurang tenteram. Sebenarnya, ini ulah pencuri mimpi. Dan dia memiliki ciri-ciri yang sama dengan orang yang bertarung denganku malam itu. Sayang, aku tidak melihat wajahnya karena malam sangat gelap dan hujan.”
“Pencuri mimpi?” belalak yang lain penuh rasa penasaran.
“Ya,” tegas Ki Lurah,” dengan kesaktiannya ia mengambil mimpi orang yang punya cita-cita besar. Tetapi, sepertinya ia mulai liar dengan mengambil mimpi semua orang. Akibatnya, warga kita seperti orang yang tidak punya harapan. Mengeluh. Mengutuki hari dan semua yang ada di sekitarnya hanya menimbulkan derita.”
“Sebentar Ki Lurah,” potong Mbah Modin,” untuk apa orang itu mencuri mimpi?”
“Entahlah,” desah Ki Lurah,” mungkin saja dijual, atau hanya disimpannya sendiri. Aku tidak tahu.”
Malam semakin larut. Suara burung hantu semakin keras terdengar meremangkan bulu roma. Hari itu sepertinya serangga malam malas bercengkerama. Tanpa bunyi, tanpa suara.
“Sulit untuk dipercaya kalau Bidan Tantri pelakunya. Ia terlalu lemah dan ..cantik,” gumam Ki Bayan.
“Ada baiknya juga kalau ada yang mengawasinya. Apa alasan sebenarnya ia meninggalkan pertemuan ini dengan terburu-buru,” kata Ki Lurah.
“Aku akan mengikutinya Kangmas,” sambut Pak Carik. Inilah kesempatan untuk dapat mengutarakan isi hatinya yang selama ini terpendam pada bidan cantik itu. Dan jika memang benar bidan itu si pencuri mimpi, ada baiknya untuk menjalin kerja sama dengannya untuk menyingkirkan Ki Lurah, akal licik Pak Carik berputar-putar.
“Baiklah. Hati-hati Dhimas. Segera pulang kalau sudah mendapat kejelasan,” pesan Ki Lurah.
“Baik, Kangmas.” Bergegas Pak Carik menuju ke arah Bidan Tantri pergi.
“Mari kita istirahat sejenak sembari menunggu Pak Carik pulang,” ajak Ki Lurah melihat para sesepuh mulai kelelahan. “Diusahakan jangan sampai tertidur. Firasatku mengatakan sesuatu akan terjadi malam ini,” tambahnya.
“Firasatku juga demikian Ki,” sambung Ki Bayan,” suara burung hantu itu membuatku gelisah.Tidak seperti biasanya.”
Sementara itu, di rumah bidan Tantri seorang ibu muda tergolek lemah. Di sampingnya berdiri bidan itu sambil menimang bayi yang terlihat baru saja dilahirkan dari rahim ibunya.
“Hmmm..bayi yang montok dan sehat,” gumamnya. “Silahkan masuk Pak Carik. Tak perlu kau mengintipku seperti itu,” kata bidan pula sembari menoleh ke pintu.
Terkejut bukan main Pak Carik mendengar suara itu. Tampaknya benar Bidan Tantri-lah si pencuri mimpi itu, desahnya pelan. Bagaimana ia tahu kalau aku mengintainya, gumam Pak Carik. Seketika sekujur tubuhnya lemas. Ketakutan mendekap kakinya erat-erat hingga ia tidak sanggup berlari. Matanya melotot melihat Bidan Tanti menghampirinya.
“Ampun..bu. tolong ampuni saya,” ratap Pak Carik menggigil ketakutan teringat kesaktian si pencuri mimpi yang diceritakan Ki Lurah.
“Kamu salah sangka Pak Carik. Justeru aku baru saja menyelamatkan ibu itu dengan bayinya,” kata Bidan Tantri sambil meletakkan bayi itu di samping ibunya.
“Maksud bu Bidan?”
“Mari silahkan masuk, nanti kujelaskan,” ajak bu Bidan dengan senyum mengembang. Mendengar kata Bidan Tantri kalau ia salah sangka, Pak Carik mulai bangkit kembali semangatnya.
“Aku tahu Pak Carik sudah lama merindukan saat seperti ini,” bisik bu Bidan menggoda. “Masuklah. Udara malam tidak baik untuk orang setua Pak Carik,” sambungnya. Pak Carik segera mengikuti Bidan Tantri masuk ke rumah.
Tiba-tiba, suara burung hantu terdengar dari belakang rumah. Suara Rohpati. Bulu kuduk Pak Carik meremang.
“Mengapa burung hantu itu mengikutiku?” gumamnya. “Tadi di rumah Ki Lurah burung itu juga terdengar. Persis seperti itu, seperti suara orang menangis.”
“Sudahlah Pak Carik, tak usah dihiraukan. Mari kita nikmati kesempatan ini,” desahnya. Dengan perasaan gundah, antara cemas dan gembira, Pak Carik mengikuti saja kemauan Bidan Tantri.
Hari sudah menjelang subuh ketika dua manusia berlainan jenis itu tenggelam dalam gairah birahi. Tidak menyadari suara burung hantu yang semakin pilu dari atap rumah. Tidak menyadari sesosok bayangan hitam mengintai dari balik jendela.
“Ayo…lanjutkan, sampai kalian puas,” desis bayangan itu,” sebentar lagi kalian akan menyusul Ki Jogoragan dan teman-temannya.
***
Keesokan harinya, udara begitu cerah. Pemandangan indah desa Jogoragan tampak berkebalikan dengan wajah para penghuninya yang selalu muram. Seorang perempuan tua dengan rambut riap-riapan, melenggang di tengah pemakaman dengan kaki terpincang-pincang.
“Pembalasan ini cukup untuk setiap mimpiku yang kalian rampas,” desis Nyi Sumbi. Lalu ia pergi meninggalkan desa Jogoragan tanpa mimpi. Benarkah tanpa mimpi? Tidak! Karena sejak saat itu, penduduk desa menjadi lebih sering bermimpi. Mimpi yang buruk sekali!
Ngisor Tugu, Januari 2011 (repost)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar