Rabu, 06 Juni 2012

Lukisan Jejakku

0 comments
Cerita KauMuda April Safa
Editor Ragil Koentjorodjati
lukisan jejak

Sejak kecil aku telah merasakan perbedaan, aku berbeda dari ayah, ibu, kakak ataupun teman – teman sebayaku. Aku ingin bermain, berlarian, berjabat tangan tapi itu semua tak bisa aku rasakan secara sempurna. Menangis, merengek dan merajuk, ekspresi itu yang bisa aku lakukan saat itu. Aku belum paham makna kehidupan yang sesungguhnya.
Surabaya, 15 September 2001
Aku ingin sekali seperti mereka, saling berjabatan tangan, bertepuk tangan, belajar menulis menggunakan tangan secara normal, belajar memegang sendok untuk makan sendiri.
Aku sedih, Tuhan menciptakanku seperti ini. Aku tidak punya lengan tangan, aku punya kaki tapi tidak bisa digunakan untuk berjalan secara sempurna. Aku ingin menikmati masa kecilku seperti kebanyakan teman – temanku. Aku ingin berjalan sendiri ke kelas, tidak selalu digendong ayah. Aku malu dengan keadaanku.
Aku selalu mengadu pada ibu jika ada yang mengejekku dan ibu tak pernah sekalipun mengeluh, marah, membentak ataupun sebal dengan sikapku. “Siapa bilang Allah itu tidak adil, Nak? Lihatlah kakak, punya kaki dan tangan yang sempurna tapi selalu mengeluh capek minta pijat, mengaduh kesakitan jatuh dari motor. Adek nggak pernah minta pijat kan? Allah itu sayang sama adek, meskipun seperti ini Allah tidak ingin adek capek. Allah menjaga adek dengan keadaan seperti ini. Allah ingin adek selalu gembira. Rizki Bintang Nusantara, nama itu ibu beri supaya adek selalu membawa berkah dan menjadi inspirasi semua orang di Indonesia maupun di dunia,” kata – kata itu yang aku ingat dari ibu. Wanita yang selalu menginspirasiku, tidak hanya dari tutur kata tapi juga perlakuan ibu yang tegas dan penuh kelembutan yang mampu menghilangkan tangisku.
Ayah, ibu dan kakak, tiga kombinasi yang mampu membangun mentalku untuk harus siap menerima kenyataan. Ibu berusaha mengenalkanku pada dunia sosial luar sejak masih taman kanak – kanak. Ayah selalu mengajakku ke tempat usaha bengkel ayah untuk mengenalkanku pada dunia otomotif sekaligus belajar sosialisasi dengan para pekerja dan pembeli. Kakak yang setia mengajakku bergabung untuk bermain dengan teman – temannya.
Mereka berusaha untuk membuka pandanganku bahwa dunia itu tak sekejam yang aku bayangkan, lingkungan akan menerimaku jika aku memberikan hal – hal yang positif pada mereka. Fisikku memang tidak sempurna tapi aku diberi otak yang lumayan encer dan komunikasi bicara yang cukup bagus karena sering menemani ayah di bengkel.
Surabaya, 16 Juli 2003
Menginjak umur memasuki sekolah dasar ibuku bersikeras agar aku masuk di sekolah umum, bukan sekolah luar biasa. Karena aku hanya cacat fisik, bukan cacat mental seperti siswa SLB pada umumnya. Tapi apa daya, sekolah umum yang ibu datangi hanya melihatku secara sebelah mata, padahal aku mempunyai kemampuan berpikir yang tak kalah dengan siswa pada umumnya.
Akhirnya ibuku mendaftarkanku di sebuah SLB daerah Surabaya Barat. Aku mulai belajar memfungsikan kakiku seperti tanganku. Mulai dari menulis, menggambar dan membuka pintu, tapi untuk bersalaman lebih baik aku tidak menggunakan kakiku. Dan aku mulai menikmati menulis cerita, puisi, menggambar, melukis.
“Lukisan Bintang bagus, lebih bagus dari gambar bapak.”
“Coretan warna sesuka saya, ini tidak jelas Pak. Lebih bagus lukisan Pak Yudhi,” kataku dengan sedikit bangga.
“Tinggal latihan yang sering ya Nak. Bapak yakin, Bintang pasti jadi pelukis terkenal.” Kata – kata Pak Yudhi yang mantap kubalas dengan anggukan..
Pak Yudhi, guru lukis yang setiap coretannya seakan menghasilkan karya dari sang maestro pelukis terkenal di dunia. Aku suka Pak Yudhi, orangnya ramah dan penuh semangat. Aku semakin semangat mengikuti setiap gerak tangannya yang menghasilkan suatu gambar. Aku jatuh cinta pada melukis.
Dengan melukis aku bisa berimajinasi membayangkan keindahan tempat – tempat pemandangan meskipun kakiku belum sempat menapakinya. Beliau selalu memuji lukisanku lebih artistik, lebih indah daripada buatannya sendiri meskipun aku melukisnya dengan menggunakan kaki.
Aku selalu menunjukan hasil lukisanku pada ibu, ayah dan kakak. Dan aku sering didaulat untuk mengikuti perlombaan melukis serta tidak pernah pulang dengan tangan kosong karena mendapat juara.
Berkat Pak Yudhi, aku semakin percaya diri dengan kemampuanku. Banyak orang yang tidak menyangka, bahwa lukisan yang aku hasilkan berasal dari goresan kaki yang kurang sempurna.
Ibuku semakin bangga denganku dan memberikan peluang yang lebar untuk mengasah setiap goresan yang dihasilkan kakiku dengan memasukkanku ke sebuah sanggar lukis.
Saat Allah belum mengabulkan do’a kita, mungkin Allah telah menyiapkan suatu hal yang lebih baik dari sebelumnya jika kita mau bersabar dan bersyukur. Salah satu guru SLB melihatku mempunyai potensi yang luar biasa seperti anak pada umumnya meskipun terdapat kekurangan pada fisikku. Aku bersyukur mempunyai seorang guru seperti Ibu Amalia, senantiasa rela membantuku untuk mengenyam di sebuah sekolah yang lebih layak dan dengan kurikulum yang cocok denganku, bukan seperti di SLB.
Kesempatan bersekolah di sekolah umum negeri akhirnya terwujud setelah aku menginjak kelas IV. Sebuah sekolah di daerah Surabaya utara bersedia menerima kekurangan fisikku.
Saat hari pertama masuk di sekolah umum, ibuku sangat khawatir hingga senantiasa menunggu mulai dari mengantar hingga pulang sekolah. Satu minggu berjalan, ibuku mulai mempercayai kemandirianku sehingga ibu cukup mengantar dan menjemput saja. Kecuali untuk urusan buang air, aku perlu menelpon ibuku untuk datang dan meminta bantuan beliau.
Sehari – hari untuk menunjang aktifitasku, ayah merakit sendiri sepeda roda tiga untukku. Alat itu yang membantuku mengelilingi tempat – tempat di sekolah tanpa merepotkan orang lain karena terdapat tombol yang otomatis. Sehingga aku tak kesulitan menggerakkannya.
“Di mana ada ibu, di situ ada Bintang.”
Teman – temanku sering berkata seperti itu. Tak masalah, karena aku memang masih membutuhkan bantuan ibu. Aku tak tahu, apa jadinya jika ibu tidak ada di sampingku yang selalu mengingatkan, berada di belakangku untuk memberi dorongan yang positif. Aku ingin sekali, membalas belaian tangan lembut beliau, mencium punggung tangan ayah dan ibu serta menggandeng tangan mereka. Meskipun begitu, aku berharap mereka merasakan sentuhan hatiku yang membelai lembut hati mereka dan kakakku tercinta.
Surabaya, 20 Mei 2011
Hari ini, ada yang melihat lelang lukisanku dan membelinya. Setahun yang lalu, ayahku membuatkan galeri hasil goresan kakiku dekat ruang tamu berukuran 5×10 meter. Semenjak itu aku semakin ketagihan menorehkan setiap warna kuas cat minyak pada kanvas. Tiga puluh menit waktu yang cukup untuk mengubah polosnya kanvas menjadi suatu kanvas penuh makna dan filosofi. Mungkin orang yang belum tahu, tak mengira semua itu karena kelihaian kakiku yang telah dilatih selama di sanggar lukis.
“Jika Allah telah membukakan pintu rezekinya, Allah akan senantiasa mengalirkannya tanpa henti,” itu salah satu penggalan kalimat yang kuingat dari guru agama islam di sekolahku.
Selain banyak yang membeli lukisanku, banyak juga yang simpati terhadap kegigihanku. Banyak yang memberi peluang – peluang membantuku mengikuti setiap acara perlombaan hingga aku mendapat banyak penghargaan. Pertolongan Allah itu nyata, beberapa pengusaha sukses mulai menawariku beasiswa hingga kuliah.
Aku bersyukur lahir di dunia ini, tidak hanya untuk menyusahkan orang lain, tidak hanya untuk dikasihani orang lain. Aku mulai mengerti arti hidup yang sebenarnya. Janganlah melihat segala sesuatu hanya dari satu sisi tapi jadikan kelemahan yang kita miliki itu sebagai suatu kelebihan terutama bagi para penyandang cacat fisik.
Semua kemudahan yang aku dapatkan sejauh ini bukanlah kebetulan saja tapi melalui proses yang penuh kesabaran dan keikhlasan. Aku ingin membuktikan pada semua orang bahwa orang cacat masih dapat berkreasi, dapat berkembang serta dapat memberikan manfaat jika diberi ruang untuk beraktifitas sesuai minat layaknya orang normal.
Ibu, lihatlah aku sekali lagi. Anakmu yang cacat ini tidak akan menyerah melawan kerasnya hidup. Aku akan berusaha membangkitkan semangat saudara – saudaraku yang bernasib sama denganku. Aku ingin menyemangati mereka, mendorong mereka seperti ibu yang tak pernah lelah memberiku dorongan secara moril maupun materiil.
Ayah, aku akan berusaha menjadi lelaki tangguh penuh prinsip yang siap menaklukan dunia, tentu dengan bantuan sepeda roda tiga buatan ayah.
Kakak, jangan pernah bosan membakar semangatku untuk terus berjuang dan mendorongku menjadi orang yang bermanfaat serta mampu menyukseskan orang lain dengan keterbatasanku ini.
Kawan, kenali aku lebih dekat. Sejatinya aku sama seperti kalian, hanya fisik yang membedakan kita. Tapi kebutuhan dan keinginan kita akan kepercayaan, kesetiaan, kebahagiaan memiliki porsi yang sama. Tanpa kalian, aku hanyalah seorang anak cacat tak berkawan. Bersama kalian, akulah anak cacat yang memiliki seribu kebahagiaan untuk aku bagikan dan seribu harapan untuk masa depan bersama.
Cinta dan doaku akan senantiasa mengalir untuk kalian.

April Safa adalah Mahasiswi ITS Surabaya, tinggal di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar